Khittah Madrasah Adalah Lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat

Sambatan membangun madrasah
Pada masa-masa awal didirikan, madrasah merupakan bagian yang integral dan tak bisa dipisahkan dengan masyarakat. Keberlangsungan hidup madrasah adalah bersumber dari swadaya masyarakat. Saat itu, kekuatan masyarakat untuk membangun madrasah harus menghadapi peraturan-peraturan ketat yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, yang pada intinya tidak lain adalah untuk mengontrol atau mengawasi madrasah. Hanya dengan biaya operasional yang sangat minim, madrasah mampu memberikan pelayanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat miskin dan marginal. Distribusi lembaga juga sampai menjangkau daerah-daerah terpencil. Sebagai lembaga nonformal, madrasah terus konsisten menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang berasal dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

Dalam perkembangannya, SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) tahun 1975 kemudian menjadi tonggak baru dalam dinamika perkembangan madrasah di Indonesia. Kebijakan pemerintah waktu itu, akhirnya mampu memenuhi tuntutan madrasah untuk disejajarkan dengan sekolah umum. Imbasnya, beban yang harus dipikul oleh madrasah bertambah. Di satu sisi ia harus memperbaiki mutu pelajaran umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum. Di sisi lain, madrasah juga harus menjaga agar mutu pendidikan Islamnya tetap baik.

Dengan adanya dukungan pemerintah, di satu sisi membawa dampak positif bagi pengembangan lembaga madrasah. Biaya operasional relatif terjamin dan proyek-proyek pengembangan bisa lebih dipercepat. Namun hal ini juga memunculkan kekhawatiran. Saat ini ada indikasi menurunnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan madrasah. Dana BOS yang telah dinikmati, guru-guru PNS yang banyak bertebaran di madrasah-madrasah, membuat masyarakat berasumsi bahwa madrasah-madrasah kini sudah mandiri dan membuat jarak dengan dengan mereka. Agaknya pihak madrasah perlu serius merefleksikan ini, apakah keformalan madrasah justru menjadikan masyarakat enggan berswadaya untuk mengembangkannya? Apakah kemandirian madrasah karena sudah “dibiayai negara” menjadikan masyarakat sudah merasa tak perlu lagi berkontribusi untuk memajukannya?

Hal tersebut bisa kita jawab salah satunya menggunakan indikator sederhana. Jika saat menggelar event yang melibatkan masyarakat, kemudian pihak madrasah melihat adanya antusias mereka untuk ikut bergotong royong mensukseskan, maka pada tahap ini madrasah dapat dikatakan masih mampu menjalin ikatan yang harmonis dengan masyarakat. Namun bila yang terjadi sebaliknya, masyarakat justru enggan dengan keinginan madrasah, maka pihak madrasah harus segera melakukan evaluasi pada aspek hubungan kemasyarakatan (humas).

Tak dapat dielak, dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam baru, maka pada saat ini dan tahun-tahun mendatang hubungan antar lembaga pendidikan formal akan semakin dibumbui persaingan. Sekalipun ada dua atau lebih lembaga yang bekerjasama dalam suatu hal, pasti ada keinginan dari masing-masing untuk lebih baik dari partnernya. Ini adalah kondisi alami. Siapa yang tidak ingin madrasahnya lebih maju? Siapa yang tidak ingin madrasahnya punya jumlah siswa banyak? Konsekuensi logis dari hal ini adalah kemauan dari setiap madrasah, khususnya madrasah swasta untuk kembali ke khittah, yakni mengembalikan madrasahnya sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education).

Konsep madrasah sebagai lembaga berbasis masyarakat dapat diimplementasikan dalam berbagai hal, tergantung kondisi masing-masing wilayah. Keterlibatan masyarakat perkotaan terhadap madrasah berbeda dengan keterlibatan masyarakat pedesaan. Demikian halnya dengan masyarakat yang nuansa Islamnya kental berbeda cara pandangnya dengan masyarakat yang kurang kental Islamnya. Sehingga diperlukan strategi yang jitu untuk menganalisa karakter masyarakat sekitar madrasah.

Di bawah ini ada beberapa upaya yang secara umum bisa dilakukan pihak madrasah untuk menjaga ikatan dengan masyarakat :
1.              Melibatkan tokoh masyarakat dalam menyusun kurikulum pembelajaran.
Saat ini, hampir di setiap madrasah memiliki program pembelajaran khusus yang dikembangkan dari kurikulum pokok. Apa yang  disebut hidden curriculum ini dapat berupa pembiasaan shalat duha dan duhur berjamaah, mengucap salam dan mencium tangan guru, atau menghafal al-Quran atau juz amma. Untuk hal-hal yang bersifat praktis seperti ini, biasanya masyarakat memiliki lebih banyak ide. Ide-ide tersebut layak ditampung dan dijadikan bahan dalam pengembangan kurikulum
2.              Menyediakan gedung madrasah untuk event-event kemasyarakatan.
Saat masyarakat ingin mengadakan acara perkumpulan seperti kelompok usaha atau ormas, apakah di benak mereka ada gambaran untuk meminjam gedung madrasah sebagai tempatnya? Ataukah justru mereka merasa ewuh-pakewuh saat ingin meminjam gedung yang nyata-nyata adalah milik yayasan dan bukan milik negara? Ini bisa menjadi refleksi seberapa kuat masyarakat menjadi bagian dari madrasah. Jika perlu, pihak madrasah perlu mensosialisasikan kesediaannya untuk digunakan sebagai tempat dilangsungkannya acara-acara tersebut.
3.              Menggelar kegiatan rutin yang melibatkan seluruh warga madrasah dengan masyarakat.
Setiap ikatan tidak akan mungkin terjalin kuat tanpa adanya wadah yang bisa dijadikan tempat bagi setiap pihak yang terlibat di dalamnya untuk berkumpul menjadi satu. Kegiatan rutin tidak harus besar dan menelan biaya mahal, tapi cukup dengan yang sederhana namun ada hasil nyata yang langsung bermanfaat bagi madrasah dan masyarakat sekaligus. Contoh kegiatan semacam ini bagi yang berada di lingkungan pedesaan adalah kerja bakti membersihkan tepi jalan atau sungai. Maka, disini yang terpenting adalah keberadaan seluruh komponen, baik guru, siswa, komite, dan masyarakat untuk berkumpul dalam suatu agenda.

Pengelolaan pendidikan madrasah yang menekankan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan memberikan dampak manis, yakni kemampuan untuk lepas dari berbagai ketergantungan. Sebagaimana yang kita lihat, dana bantuan operasional, tunjangan guru, atau dana rehab madrasah datangnya sering tak jelas. Maka kehadiran masyarakat akan menunjang penngembangan madrasah secara lebih efektif dan efisien. 

Di sisi lain, masyarakat juga akan berubah mindsetnya, dari yang semula hanya menganggap dirinya sebagai obyek pendidikan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat adalah penuntut hak-hak pendidikan. Sedangkan sebagai subyek pendidikan, masyarakat wajib ikut mengelola dan mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkannya. Ketika ini sudah tercapai, maka sekali lagi konsep kembali khittah madrasah tidak hanya menguntungkan pihak madrasah sendiri, tapi juga ikut mewujudkan apa yang telah dicita-citakan para pendiri madrasah di zaman pra kemerdekaan, yakni madrasah sebagai media dakwah dan pemberdayaan umat.

by azzam arifin

0 komentar:

Posting Komentar