Bantuan
Siswa Miskin (BSM) adalah program pemerintah yang ditujukan bagi siswa kurang
mampu yang mengenyam pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah, dengan
tujuan meringankan beban operasional siswa selama menjalani proses belajar. Keberadaan
BSM dapat dikatakan wujud nyata peran pemerintah dalam merealisasikan
Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa
negara menjamin hak tiap-tiap individu untuk mengenyam pendidikan.
Sistem
yang digunakan dalam penyaluran BSM untuk saat ini adalah sistem langsung. Pada
awalnya madrasah mengajukan nama-nama siswa yang masuk dalam kategori tidak
mampu sesuai kuota yang ditetapkan. Setelah disahkan, selanjutnya dana BSM
disalurkan langsung ke rekening tiap-tiap siswa, baru kemudian pihak madrasah –dalam
hal ini kepala madrasah- menyalurkan dana itu kepada siswa yang bersangkutan
sekaligus membuat laporan pertanggungjawaban.
Proses
penyaluran BSM dilaksanakan secara periodik. Untuk beberapa tahun terakhir, pencairan
dilaksanakan tiap satu semester, yakni periode Januari- Juni (periode I) dan periode
Juli-Desember (periode II). Kebijakan seperti ini cukup menguntungkan madrasah,
mengingat ada jangka waktu yang cukup bagi madrasah untuk melakukan seleksi,
melengkapi administrasi pengajuan, dan membuat laporan pertanggungjawaban.
Meskipun
prosesnya tampak sederhana, tapi program BSM menyimpan banyak permasalahan. Salah
satu yang cukup menonjol adalah adanya kuota jumlah siswa yang boleh diajukan
untuk menerima dana ini. Biasanya, penetapan kuota ini didasarkan pada jumlah siswa
secara keseluruhan. Semakin banyak siswanya, maka jatah siswa tidak mampu yang
berhak diajukan madrasah juga semakin banyak. Penetapan kuota beradarkan
presentase jumlah siswa seperti ini sebenarnya bisa diperdebatkan. Apakah madrasah
dalam jumlah banyak pasti punya siswa kurang mampu yang banyak pula, dan begitu
pula sebaliknya? Maka dalam hal ini pihak madrasah harus pintar-pintar menyusun
skala prioritas untuk siswa-siswa calon penerima bantuan ini. Jika mendapat
jatah 50 misalnya, maka 50 siswa itulah yang lebih diprioritaskan mendapat
bantuan.
Permasalahan
lain yang muncul adalah tidak adanya jadwal tetap kapan harus melakukan
pengajuan, kapan dicairkan, dan kapan membuat laporan pertanggungjawaban. Informasi
dari Kemenag seperti berkas pengajuan harus dikumpulkan dua hari lagi, laporan
harus selesai dalam tiga hari, seolah sudah menjadi hal yang biasa. Agak mengherankan
memang, program yang sudah berjalan bertahun-tahun ini masih saja tidak bisa
dibuat jadwal yang pasti. Memang harus diakui, dalam perealisasiannya pihak
Kemenag harus berkoordinasi dengan Kementerian lain yang terkait, seperti
Kementerian Keuangan. Namun sikap inkonsistensi seperti ini lagi-lagi membuat
madrasah kerepotan.
Kita
ambil contoh untuk pencairan BSM yang terakhir (periode Juli-Desember 2014).
Pencairan dilaksanakan tanggal 23 Desember 2014. Untuk form laporan diberikan via
email tanggal 27 Desember 2014, sekaligus memberi batas waktu selesai pengerjaan
sampai tanggal 31 Desember 2014. Kalau hari-hari efektif, tenggat waktu tiga
hari bisa dikejar, la ini lho sedang liburan. Meskipun pihak madrasah
benar-benar menyalurkan dana itu kepada yang siswa yang bersangkutan, sulit
rasanya mereka menyusun data laporan yang benar-benar reliabel.
Maka,
kekhawatiran yang muncul dari problem semacam ini adalah reliabilitas data
laporan BSM. Bagaimanapun, data itu sendiri nantinya akan dijadikan bahan
evaluasi perbaikan ke depan. Lha kalau semakin lama justru semakin tidak
jelas jadwal step by step nya, maka perbaikan kualitas program BSM akan
sulit terwujud.
Bendiljati
Wetan, 29 Desember 2014
Azzam
Arifin
0 komentar:
Posting Komentar